[Nara Lakuna] Bagian 6 : Serpihan beling
Agak aneh rasanya menghubungi Hana-chi setelah kejadian itu, tetapi sekarang juga merasakan khawatir. Apa Hana-chi baik-baik saja?
>> Back to Bit_Memoir Page
Hana-chi juga membicarakan tentang VR. Apa hubungannya Hana-chi dengan orang yang menelpon saat di sekolah tadi?
Hana-chi terlihat bisa dipercaya, tetapi ketika membicarakan VR seolah Hana-chi juga mengetahui informasinya. Saya belum memahami apa maksud dari semua ini.
Saya merebahkan tubuh di ranjang tempat tidur, kembali menutup mata.
"Kak?", seseorang masuk ke kamar Saya.
"Iya....?", Saya mendengar suara Defara.
"Sudah makan malam? Ayo ke dapur untuk makan bersama"
Saya beranjak dari kasur dan mengikuti Defara ke dapur untuk makan bersama. Di meja ada sayur asem, telur balado, tepung jamur goreng, dan nasi dua piring.
"Tidak biasa kan masak sebanyak ini?", Saya menyuap nasi dan sayur.
"Hehe... Rasanya... Seperti hari ini akhir bertemu", Defara terlihat menikmati tepung jamur goreng dengan lahap.
"Maksudnya?", Saya tidak paham apa maksudnya. Kita terus seperti ini kan? Seperti hari-hari sebelumnya.
"Lupakan, Apa makanannya enak?", rasanya seperti mengganjal.
"Enak...", Saya memakan nasi dan telur balado.
Defara menikmati makanannya dengan perlahan, untuk beberapa saat tidak ada percakapan diantara Saya dan Defara.
"Papah dan mamah mengatakan apa kepada Anda?"
"Ya... Sebenarnya sulit. Papah dan mamah akan pergi lagi, tetapi dengan jangka waktu yang lama mungkin sekitar sembilan bulan setengah. Kak, kapan kita bisa seperti lainnya? Aku melihat keluarga lainnya bahagia bisa berlibur ke pantai atau semacamnya", Defara terlihat sedih.
"...Mau ke suatu tempat? Tetapi hanya kita sih... Tanpa papah dan mamah", Saya tidak tahu harus bagaimana merespon Defara yang terlihat sedih.
"Tidak, terima kasih. Aku mau kita semua bersama berlibur..."
Entah kenapa.... Saya tidak bisa menjawabnya. Terlalu sulit. Papah dan mamah selalu seperti itu semenjak Saya di sekolah dasar.
"Kandias mau ke mana? Ke Angsana?", Eka Nandaryani bertanya kepada Saya yang sedang menikmati teh hangat.
"Ke Angsana boleh...", Eka Nandaryani terlihat senang dengan tanggapannya.
"Yey! Hanya kita berdua yang ke sana. Disana katanya ada penginapan, gimana kalo kita menginap juga di sana?"
"Sepertinya tidak. Kita berangkat ketika tengah malam saja. Dengan jarak sekitar 197 kilometer, kita bisa menempuhnya menggunakan sepeda motor dengan waktu lima jam. Saat sampai sana, kita bisa melihat matahari terbit. Kita pulang saat tengah hari, agar sampai di rumah tepat saat malam. Jadi tidak ada menginap untuk menghemat uang"
"Oh... Ok, itu terdengar lebih romantis!", Eka Nandaryani memeluk Saya dengan erat dengan ekspresi bahagia.
Ingatan lainnya kembali muncul tentang Eka Nandaryani. Mengapa Saya... Bisa jalan-jalan dengan dia? Saya merasa tidak nyaman dengan itu untuk sekarang.
Defara tanpa Saya sadari sudah tidak ada di dapur. Mungkin langsung pergi ke kamarnya. Saya membereskan alat-alat makan di meja dan setelah itu kembali ke kamar untuk tidur.
Hari berganti menjadi hari yang baru. Pagi kembali ada, Saya beranjak dari kasur dan menuju kamar mandi. Setelah mandi, Saya mengenakan seragam berwarna cokelat, seragam pramuka. Sama seperti hari-hari sebelumnya, Saya menjalani hari dengan cukup baik, mungkin. Saya memikirkan tentang VR. Apa mungkin VR dimasuki oleh manusia dan bisa disentuh?
Saat memasuki jam pulang sekolah, Zaki menatap Saya dengan tajam.
"Kau... Ada hubungan apa dengan Eka?"
"Eka.... Eka Nandaryani? Tidak ada. Mengapa?", Saya merasa aneh dengan tatapan Zaki yang terlihat tidak senang.
"Eka menyuruhku untuk menyampaikan kepada kau. Kau harus datang ke dekat aula sepulang sekolah", Zaki masih menatap kepada Saya dan tidak berkedip sedikitpun.
"Begitu? Baiklah. Terima kasih...", Saya memungut buku yang ada di meja dan dimasukkan ke dalam ransel.
"T-T-Tunggu! Aku-Aku mohon kepadamu! Jika seandainya.... Kau menyukainya, tolong.... Tolong jauhi dia! Aku ingin dia menjadi milikku", Zaki tertunduk dan tergagap ketika berbicara.
"Anda... Ingin Eka Nandaryani menjadi milik Anda?", Saya merasa aneh.
"Itu harapanku, harapan yang kupendam dan hanya bisa kusampaikan kepadamu", wajah Zaki terlihat seperti tomat berukuran kepala manusia.
"Anda serius? Jika Anda menyukai Eka Nandaryani, mengapa tidak coba lamar dia?", Zaki seharusnya bersama Eka Nandaryani jika berdasarkan ingatan... Eka Nandaryani selingkuh dengan Zaki.
"Akan kucoba, suatu hari nanti! Terima kasih!", Zaki menunjukkan ekspresi bahagia.
"Baiklah, Saya keluar kelas dulu...", Saya mengangkat ransel dan meninggalkan kelas menuju aula.
Sekolah mulai terasa sepi, mungkin karena faktor besok hari libur. Saya menuju dekat aula, dan melihat Eka Nandaryani sedang berdiri menatap lapangan di depannya.
"Ada apa?", Saya berbicara dihadapan Eka Nandaryani.
"Hai.... Kamu nolak Aku kan kemarin? Ku pikir Aku nggak bisa hidup tanpamu. Ayo.... Kita meminum ini?", Eka Nandaryani mengeluarkan sebuah botol kecil berukuran jempol orang dewasa. Dilabelnya tertulis 'sianida'.
"Tidak. Sianida dapat membunuh orang", Eka Nandaryani tidak masuk akal. Mengapa mengajak Saya untuk bunuh diri.
"Justru itu kan tujuannya. Aku merasa sakit, sakit, dan sakit. Tubuh rasanya ingin terus berbaring dan tanpa tenaga. Aku ingin mengakhiri hidupku jika terus-terusan begini. Aku ingin melupakan semuanya. Aku ingin bebas, tanpa ada masa lalu yang menyakitkan", Eka Nandaryani memincingkan matanya ke arah kiri.
"Mengapa Anda mengajak Saya untuk mengikutimu?"
"Agar kau jadi milikku seutuhnya. Agar Aku mempunyaimu di alam sana, agar Aku bisa bersamamu disana tanpa ada gangguan"
"Anda.... Sakit", Saya merasa ngilu di sekujur tubuh. Mengapa?
"Ya, Aku merasa sakit. Merasa sakit atas penolakanmu, mengapa kau pilih orang lain? Hidupku rasanya telah terbuang sia-sia. Aku ingin mengakhirinya...."
"Tidak. Tidak boleh. Anda berhak untuk hidup, dengan alasan yang baik", Saya merasakan ada air mata yang keluar dari mata dengan deras.
"Kenapa kau menangis? Seharusnya kau merasa bahagia kan? Tolong katakan kepadaku jika kau bahagia... Tolong!", Eka Nandaryani meneteskan air mata dengan membanting botol sianida ke semak-semak yang jauh jaraknya dengan kami.
"Saya merasa.... Anda sebaiknya tetap hidup"
"Kenapa?", Eka Nandaryani menatap Saya dengan tajam.
"Saya ingin Anda hidup, meskipun masa lalu terasa menyakitkan", Saya merasa sakit. Sakit hati yang terasa hampa namun juga seperti terasa ditusuk oleh seribu jarum secara bersamaan.
"Tolong... Tolong Aku.... Tolong peluk Aku!", Saya refleks menarik tangan kirinya dan memeluk Eka Nandaryani, tubuh Saya bereaksi gemetar dengan keras.
"Mengapa... Saya memeluk... Anda?", hati Saya tiba-tiba merasa sedikit tidak nyaman. Mungkin setelah ini Saya ditampar olehnya.
"Terima Kasih.... Hatiku sekarang menjadi lebih baik", suaranya selembut gulali manis. Saya merasa Eka Nandaryani sedang tersenyum bahagia.
Eka Nandaryani melepaskan pelukan dan menatap Saya dengan tatapan bahagia.
"Terima kasih sudah melepaskanku, merelakanku..."
"Meskipun Saya tidak mengerti, tapi.... Ya, sama-sama", Saya melihat Eka Nandaryani dengan senyumannya terasa hangat seperti matahari.
Setelah itu Eka Nandaryani hanya tersenyum dan meninggalkan Saya dengan setengah berlari. Saya juga sebaiknya pulang ke rumah, hari sudah senja. Berjalan ke rumah seperti biasa, banyak orang-orang yang berlalu-lalang dan melakukan aktivitasnya masing-masing.
Sesampainya di rumah, Saya melepas sepatu dan meletakkanya di rak. Di dapur Saya tidak melihat Defara, mungkin berada di kamar. Saya masuk ke kamar dan melihat sesosok dengan rambut cokelat pendek.
"Hana-chi!", Saya kaget Hana-chi sudah berada di kamar Saya dengan mengenakan seragam berwarna coklat juga.
"Hai. Beneran Aku kok disini, jangan khawatir", Hana-chi terkekeh melihat Saya.
"...Saya kira Anda sekedar penampakan karena Saya berhalusinasi, ternyata benar", Saya mencubit tangan kiri Saya. Rasanya sakit. Berarti ini nyata.
"Bro, ada yang ingin kuberitahu soal dunia ini", Hana-chi beranjak dari depan meja belajar Saya dan duduk persis di tengah-tengah ruangan kamar.
"...Apa itu?"
>> Back to Bit_Memoir Page
Komentar
Posting Komentar