[Nara Lakuna] Bagian 3 : AIDE

Saya berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah. Meskipun tergesa-gesa tetap saja memakan waktu sekitar setengah jam untuk sampai rumah. Sesudah masuk kamar, buru-buru Saya merebahkan tubuh di ranjang tempat tidur.

Ada ingatan tentang Hana-chi, berbeda dengan sekarang. Dipikir-pikir sepertinya perbedaan waktu antara sekarang dan yang Saya lihat sekitar tiga tahunan, jika Hana-chi masuk kuliah untuk semester pertama.

Apa hubungannya? Apa ada kemungkinan yang tidak terduga?

Saya melihat jam digital yang berada di atas meja belajar, jam menunjukkan pukul tujuh malam. Saya beranjak dari ranjang menuju kamar mandi untuk mandi dan mengganti baju. Seusai itu, Saya segera mematikan lampu kamar dan tidur karena merasa pikiran Saya lelah untuk berpikir lebih lanjut untuk hari ini.

Ketika membuka mata, Saya melihat cahaya matahari pagi diantara gorden yang tertutup. Artinya sudah pagi, jam digital menunjukkan jam setengah tujuh pagi. Beranjak dari ranjang dan masuk ke kamar mandi untuk mandi dan mengganti pakaian menjadi seragam seperti kemarin.

Saat berjalan ke arah dapur, anak perempuan dengan rambut bob asimetrisnya sudah ada di dapur. Di atas meja sudah ada nasi dengan telur ceplok, tetapi hanya ada dua piring.

"Mengapa hanya ada dua piring?", Saya menatap Defara yang sedang duduk dan mengaduk gelas yang berisi teh.

"Papah dan Mamah tidak ada dirumah, kita sering seperti ini kan? Mereka mengurusi urusan bisnis di perusahaan", Defara menghela nafas sembari meminum teh yang dibuatnya.



"Rumah terasa sepi....", Saya mengatakan kepada Defara yang sedang mengerjakan tugas. Saya melihat sekeliling yang seperti hanya ada kami berdua yang tinggal disini.



"Mamah dan Papah akan pergi selama tiga bulan, uang untuk keperluan makan ataupun keperluan sudah ada di akun milikmu. Tolong jaga Defara juga", kata-kata mamah biasanya ketika meninggalkan kami dalam jangka waktu yang lama.



Sepintas ada kenangan lainnya yang tiba-tiba muncul dalam pikiran Saya. Saya dan Defara seolah tidak bergantung dengan orang tua, dan terasa jauh dengan mereka. Kami akan mendatangi orang tua jika ada keperluan seperti tanda tangan surat dari sekolah ataupun urusan yang berhubungan dengan orang tua.

Saya duduk di sebelah Defara dan memakan hidangan yang telah disediakan. Setelah itu kami berangkat bersama-sama dengan berjalan kaki, kami berpisah di persimpangan jalan. Defara berjalan ke arah kiri sedangkan Saya melanjutkan perjalanan dengan mengambil jalan ke arah lurus.

Sesampainya di skenda, Saya melihat Zaki dengan membawa bunga di tangannya.

"Hai Zaki!", dengan menepuk bahunya dari belakang.

"Kau orang yang kemarin! Kenapa kau menyapaku seolah kenal? Kita bahkan belum kenalan sama sekali. Perkenalkan, namaku Zaki Aegelweard. Aku bukan orang sini, jadi maklumi jika namaku sedikit aneh didengar", Zaki menyodorkan tangannya kepada Saya.

Saya menyambut tangannya, "Nama Saya Kandias, Kandias Ananda. Senang bertemu dengan Anda...", kamipun berjabat tangan. Setelah berjabat tangan, kami berjalan menuju kelas.

"Hey, kenapa kita nggak duduk sebangku? Kau belum dapat tempat duduk kan pas kemarin?", tanya Zaki sembari duduk di bangkunya.

"Iya, karena kemarin Saya dihukum lari keliling lapangan dan ketika hendak masuk kelas, kakak-kakak kelas menyuruh kita semua untuk keluar kelas menuju aula", Saya duduk di bangku yang terletak di samping Zaki.

"Hari ini ospek terakhir. Besok pelajaran sudah mulai. Kandias sudah mempersiapkan bunga?"

"Bunga apa?", Saya tidak mendengarnya saat kemarin.

"Oh iya, kemarin kau tidak masuk kelas. Ada pemberitahuan kalo membawa bunga untuk diberikan kepada orang yang ingin kau kasih", Zaki mengeluarkan ekspresi kaget.

"Oh... Saya tidak membawanya. Mungkin dihukum lagi", Saya bergumam.

"Apa katamu? Aku tidak mendengar apa yang kau bicarakan", Zaki menatap ke arah lapangan.

Di lapangan, ada segerombol orang yang berkumpul. Mereka terlihat berdesakan. Saya berusaha mengabaikan apa yang Zaki lihat dan melihat jam yang terletak di atas papan tulis di depan kelas. Jam menunjukkan hampir setengah delapan pagi.

Mengeluarkan smartphone dari saku celana dan menggulir-gulirkan apa-apa saja aplikasi yang tersedia. Saat melihat aplikasi alarm, ada di sebelahnya yang menarik perhatian. Aplikasi yang bernama AIDE. Saya pernah mengetahuinya di suatu tempat, tapi dimana?

Saya membuka aplikasi AIDE, dan didalamnya ada semacam catatan atau kolom yang bersifat harian. Banyak kolom yang kosong, tetapi ada sebagian yang terdapat tulisan. Tulisan seperti "Saya akan mengisinya setiap hari", "Hari ini hari ospek", dan lainnya tetapi dalam jumlah sedikit. Yang menarik perhatian, Selama hari ini dan kemarin, dengan tanggal yang sama, pas waktunya dengan saat Saya ospek dengan apa yang disampaikan di catatan ini.

Tetapi saat menggulirkan waktu teratas, seperti waktu terakhir berada di waktu tujuh tahun yang akan datang. Aneh, seharusnya jika catatan ini seandainya Saya yang menulis, seharusnya terakhir ditulis pada tanggal sebelum masuk skenda.

Apa ada hubungannya dengan Saya tidak seharusnya berada di sini? Tetapi yang Saya lihat dan Saya rasakan sangat nyata. Yang mana yang benar?

Setelah berkutat dengan pemikiran itu, Saya mengikuti ospek lagi, dan lagi-lagi dihukum karena tidak membawa bunga. Dan setelah sore saat ospek usai, Saya langsung teringat Hana-chi.

Hana-chi kira-kira di mana? Saat berjalan di depan sekolahnya terlihat sepi, tidak ada orang maupun siswa yang ada disana. Coba Saya lihat dulu di taman, dan benar saja. Hana-chi menatap danau dengan santai. Saya berjalan ke tempat Hana-chi dengan sepelan yang Saya bisa. Sepertinya Hana-chi tidak menyadari kedatangan Saya. Saya duduk disamping kirinya dengan menatap Hana-chi yang sedang makan sembari melamun.

"Wah... Senangnya bisa makan banyak ya...", Saya melihat Hana-chi kaget dan menolehkan kepalanya ke arah Saya.

"Eh... Iya sih, karena Aku makan sebanyak apapun bakal kayak gini", Hana-chi terkekeh dan menunjukkan lengannya yang terlihat kurus untuk wanita pada umumnya.

"Makan yang banyak... Sebelum makan itu dilarang", Saya menatap danau dengan tenang.

"Ok. Aku setuju denganmu. Bentar.... Setelah kupikir-pikir... Apa namamu cuman sekedar Ananda?", Hana-chi menatap Saya dengan serius.

"Ananda. Kandias Ananda. Itu nama lengkap Saya", Saya mengarahkan pandangan ke arah Hana-chi.

"Oh.... Jadi kupanggil dengan apa? Kakak? Kak Kandias? Kak Ananda? Karena kita beda satu tingkat", Hana-chi memalingkan wajahnya dari hadapanku. Kenapa.

"Jadi.... Anda.... Sebenarnya lebih muda dari Saya?", jadi Hana-chi ternyata berbeda satu tingkat dibawahku. Tapi Hana-chi terlihat sebaya dengan Saya, dilihat dan didengar dari cara berbicaranya.

"Tentu saja. Apa kau tidak menyadarinya?", Hana-chi setengah berbisik kepada Saya.

"Tidak. Maaf atas ketidaktahuan Saya", Saya juga tidak menyadarinya. Saya kembali menatap ke arah danau.

"Jadi Aku harus memanggilmu dengan sebutan apa?"

"Kandias, Ananda, Kak Kandias, Kak Ananda, atau.... Bro?", Saya melihat angsa yang sedang melewati danau dengan indah dikata orang.

"Bro? Boleh deh. Bro, bro! Kau mau ini?", Hana-chi menyodorkan cilok yang masih tersisa separuh.

"Ya, terima kasih", Saya mengambil sebilah lidi yang tertancap di cilok-cilok itu dan memakannya. Saya mengambil tisu dari dalam tas dan membersikhan tangan yang terkena saus cilok.

"Bro.... Aku penasaran sih. Bukan maksudnya tidak sopan atau apa.... Tapi... Apa yang kau ingat sampai sekarang? Maksudku.... Bagaimana kehidupanmu?", Hana-chi bertanya kepada Saya sembari memakan cilok lagi.

Kehidupan Saya sebelumnya. Seperti apa. Seperti biasa kan. Tetapi.... Aplikasi itu, salah satu aplikasi di smartphone Saya. AIDE. Ada kata atau kalimat, tetapi sebagian ada yang kosong seperti datanya hilang meskipun mempunyai tempatnya tersendiri sesuai tanggalnya.

"Yah.... Yang Saya ingat? Saya jujur orang yang pelupa, tetapi Saya selalu mencatat kejadian sehari-harinya di smartphone. Entah mengapa... Saya tidak bisa membacanya?", Saya membuka layar kunci smartphonenya yang terlihat rumit dan menunjukkan kepada Hana-chi sebuah aplikasi AIDE.

"Bro, itu ada tulisan nya banyak lagi", Hana-chi mendekat dengan wajah heran.

"Apa Anda sedang berkhayal? Saya tidak melihat tulisan sama sekali, kecuali untuk beberapa bagian tertentu", Saya mencubit pipi Hana-chi agar menyadarkannya.

"AAWWW!!! Sakit tau!", Hana-chi berteriak dihadapan Saya.

"Bagaimana? Apa Anda sedang berkhayal?", sepertinya Hana-chi tidak sedang mengkhayal. Hana-chi menunjukkan ekspresi menatap layar dengan serius.

"Beneran deh! Demi kacang yang bertebaran di pasar. Tulisan itu bisa kulihat!", Hana-chi menyentuh smartphone Saya dan menggulirkan layar ke atas dan bawah yang terlihat kosong.

"Aneh.... Mengapa hanya Saya yang tidak bisa. Padahal Anda melihatnya....", kenapa. Apa ada masalah di mata Saya. Tetapi daritadi Saya bisa melihat tulisan dimanapun. Hanya aplikasi AIDE yang benar-benar janggal.

"A-anu! Apa Aku boleh menyimpan data diarimu? Sebagai gantinya Aku akan berusaha menunjukkan sesuatu sesuai dengan tulisan yang kubaca", Hana-chi meminta kepada Saya dengan wajah aneh.

"Saya tidak tahu Hana-chi jujur atau bohong, tapi.... Apa untung dan ruginya untuk Saya dan Anda jika data diarinya Saya berikan kepada Anda?". Saya merasa tidak yakin dengan permintaannya tadi. Lagipula apa untungnya melihat aplikasi yang terlihat sebagian kosong.

"Aku berpikir, ini yang terlintas dipikiranku. Jika Aku mendapatkan data diarinya, Aku bisa sebagai pemandu untuk mengingat semua hal yang telah lalu, berdasarkan data diarinya. Diluar itu, Aku tidak tau", terdengar kabur.

"Untungnya buat Anda? Apa Anda merasa diuntungkan dengan membantu Saya?", Saya menatap Hana-chi dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Apa Hana-chi bisa melihat sesuatu di aplikasi AIDE ini. Dilihat dari ekspresinya, Saya menyimpulkan jika Hana-chi bisa melihatnya.

"Maaf, Aku hanya ingin membalas budi dan ingin berteman denganmu. Kalau bicara soal untungnya untukku sepertinya tidak ada. Akupun tak tau untungnya apa", Hana-chi menghela nafas. Saya membetulkan kaki, bersila dan menghela nafas.

Jika Hana-chi jujur tentang itu, Saya sebenarnya tidak mempermasalahkan apakah Hana-chi ingin berhutang budi atau tidak. Hutang budi itu seperti tidak bisa dibayar, meskipun sampai mati. Menurut Saya.

"Baiklah. Saya memberikan datanya kepada Anda", Saya menadahkan tangan dan menatap ke arah Hana-chi.

Hana-chi memberikan smartphone yang dipegangnya. Saya memegangnya, smartphone dengan chasis berwarna putih bersih. Sekilas tampilannya sama seperti lainnya. Saya membuka pengaturan smartphonennya dan mengatur agar tersambung ke dalam jaringan smartphone Saya. Setelah tersambung, Saya membuka peramban dan memasukkan MAC address aplikasi AIDE dengan melihat informasi dipengaturan aplikasinya di smartphone Saya. Saat separuh kosong memuat, tiba-tiba ada koding yang terilhat aneh. Saya belum pernah melihat kodingan seperti itu, melihatnya Saya langsung merasa gatal di kepala Saya.

"Apa tipe smartphone yang Anda pakai? Saya gagal paham", Saya menunjukkan layar smartphone Hana-chi yang berisi verifikasi menggunakan kodingan yang Saya maksud aneh. Campuran bahasa yang sering dipakai dalam kodingan dan bahasa-bahasa lainnya yang Saya tidak memahaminya.

Hana-chi mengambil smartphonenya dan menyentuhnya seperti memahami kodingan-kodingan aneh itu. Hana-chi hanya diam dan sibuk dengan smartphonenya. Apakah sudah berhasil terunduh. Mengapa hanya Saya yang tidak bisa melihatnya.

"Anda berkata jika Saya memberikan datanya maka Anda akan membantu Saya. Lantas, tolong beritahu Saya tentang yang Anda lihat", Saya membuka layar kunci smarthone dan menggulirnya keatas dan kebawah dan merasa sedikit iri.

Apa yang dilihat Hana-chi. Kehidupan Saya sebelumnya seperti apa. Apa seperti kebanyakan orang normal. Mengapa Saya hanya bisa mengingatnya sedikit saja. Informasi yang Saya ketahui hanya berasal dari sini dan Hana-chi. Insting Saya mengatakan jika Saya bukan berasal dari sini. Entahlah apa maksudnya. Apa dunia ini nyata. Saya merasa seharusnya Saya lebih tua ketimbang sekarang.

"Bro.... Apa kau ingat, siapa yang menjadi pacarmu? Bahkan sampai sekarang", Hana-chi tiba-tiba bertanya kepada Saya. Saya bingung dengan pertanyaannya barusan. Pacar. Apa itu. Sejenis kodingan, atau hal yang tidak penting. Mungkin.

"...Maaf atas ketidaktahuan Saya, tapi Saya memang tidak mengetahuinya. Saya tidak mempunyai bayangannya", Saya menghela nafas tanda menyerah sembari duduk kembali bersila, duduk tegak dengan menyilangkan kaki.

"Bro! Aku antar kau pulang hari ini!! Kalau perlu kuantar jemput kemanapun kau pergi!!", Hana-chi dengan wajah kagetnya berteriak di hadapan Saya. Apa maksudnya dengan berteriak dengan ekspresi kaget?

"Hah? Saya.... Bisa pulang sendiri. Saya masih mengingat dimana rumah Saya, dan beberapa tempat tertentu meskipun banyak tempat yang Saya lupa dimana. Hana-chi tenang saja....", Hana-chi terlalu heboh.

"Anu, kukira kau lupa dimana rumahmu....", Hana-chi tersipu malu dan menutup wajahnya dengan tas sekolah. Entah mengapa Saya merasa familiar dengan ekspresi Hana-chi barusan. Tetapi di dalam ingatan Saya bukan Han-chi yang melakukannya. Seorang perempuan. Tetapi Saya tidak tahu siapa yang melakukannya. Dan Saya merasa perempuan itu dekat dengan Saya.

"Apa perkataanmu barusan itu sebuah modus?", Saya menatap Hana-chi.

"A-a-a-Aku! Nggak Modus!", mukanya benar-benar merah dengan wajah anehnya. Imutnya.

Saya mengalihkan pandangan kembali ke danau. Banyak orang-orang yang mengunjungi taman pada sore hari. Saya dan Hana-chi tidak ada berkata sedikitpun sembari melihatnya dengan tenang. Tidak lama kemudian Hana-chi beranjak dari duduknya.

"Bro. Aku pulang dulu ya. Sudah jam lima sih. Ini, kue nagasari isi pisang. Kalau kau mau sih...", Hana-chi mengambil tasnya dan menyodorkan kue nagasari isi pisang kepada Saya.

"Terima kasih...", Saya menyambut kue yang diberikan.

Setelah Hana-chi menghilang dari pandangan Saya, Saya beranjak dan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah dan kamar Saya langsung tidur di tempat tidur karena merasa capek, tanpa mengganti baju seragam terlebih dahulu.





>> Back to  Bit_Memoir Page

Komentar