[Nara Lakuna] Bagian 2 : Brunette

"Pilih ya atau tidak?", perempuan itu berkata dengan tegas.

"Ya, Saya ingin berteman dengan Anda. Sampai jumpa nanti...", Sayapun pergi dan langsung menuju ke rumah.

Setelah sampai di depan rumah, Saya disambut oleh perempuan paruh baya yang ditemui pagi tadi. Sepertinya Saya harus menyebut perempuan paruh baya itu dengan sebutan 'mamah'.

"Kandias, dari mana saja tadi? Yuk masuk ke dalam rumah. Mamah masak nasi goreng tadi. Mumpung belum dingin dimakan dulu", mamah sembari menyapu halaman mengajak Saya untuk makan malam. Sepertinya, melihat hari terlihat seperti sore hari. Disini.

Saya membuka pintu rumah dan tidak lupa menutupnya kembali setelah berada di dalam ruangan. Saya menuju dapur dan melihat sepiring nasi goreng yang berada di atas meja. Duduk persis di kursi yang ada makanannya dan Saya melahap makanannya dengan santai.

Saya melihat gawai yang layarnyanya menampilkan tampilan awal yang biasanya terdapat di berbagai macam gawai seperti jam, aplikasi, dan sisa kapasitas memori yang masih bisa dimuat. Saya melihat hari ini tanggal 23 Juli YQRX, ada hal yang sepertinya Saya lupakan. Tapi, apa yang Saya lupakan?



"Kandias! Perkenalkan, namaku Zaki. Sepertinya kita sekelas. Senang bertemu denganmu!", seseorang yang bernama Zaki tersenyum kepada Saya. Laki-laki yang terlihat seumuran Saya yang berambut semi-gundul dengan kacamata bulat yang terlihat memenuhi wajahnya menatapku dengan senang. Dengan pemandangan seperti koridor terbuka yang berada di sekolah.



Saya juga merasa senang, akhirnya ada orang yang bisa menjadi teman Saya. Mungkin. Ingatan Saya menuju ke pertama kali berkenalan dengan Zaki. Saya merasa telah lama berteman dengan Zaki. Setelah diingat, pas di hari pertama masuk sekolah menengah kejuruan atau disingkat SMK.

Sebentar, tahun.... YQRX. Saya baru berumur 15 tahun, dan.... Biasanya anak yang berumur 15 tahun masuk ke sekolah yang jenjangnya setara dengan sekolah menengah atas yang disingkat dengan SMA atau masuk ke sekolah SMK!

Artinya.... Besok Saya harus menghadiri hari pertama masuk SMK!

Setelah menyelesaikan makan malam, Saya membawa alat-alat makan yang dipakai ke wastafel dan sekalian mencuci tangan. Setelah itu Saya berjalan menuju ruangan pertama kali yang Saya ketahui.

Saat berada dikamar, di sebelah meja yang fungsinya sepertinya sebagai tempat belajar Saya melihat tas yang bersandar disampingnya. Saya buka tas tersebut dan terlihat barang-barang yang digunakan untuk bersekolah. Ada laptop, buku tulis, peralatan tulis, sapu tangan, dompet, dan penutup mata. Sepertinya sudah disiapkan sebelum Saya akan melakukannya. Mungkin, Saya yang kemarin yang mempersiapkan ini atau seseorang.

Sayapun berbaring di tempat tidur dan menutup mata sembari menyantaikan pikiran. Saat Saya membuka mata, suasana di luar ruangan ini terlihat matahari terbit dan banyak orang-orang yang berlalu-lalang melewati jalan disamping. Saya beranjak dari kasur dan segera mandi. Setelah mandi dengan perlahan, Saya membuka lemari dan memasang pakaian yang terlihat seperti seragam. Seragam tersebut adalah kemeja berwarna putih bersih, dasi beserta ikat pinggang berwarna hitam dan celana panjang kain yang juga berwarna hitam pekat.

Seusai berpakaian, Saya membawa tas ransel yang sudah disiapkan dan keluar kamar. Saat melewati dapur ataupun ruangan keluarga, mereka semua sepertinya tidak ada. Mungkin mereka sudah berangkat terlebih dahulu.

Saya keluar rumah dan berjalan menuju sekolah yang dituju. Di mana sekolahnya? Baru terpikir setelah selama ini. Saya sejenak berhenti dan melihat sekeliling. Saya melihat sebuah sebuah toko cukur rambut yang sudah membuka tokonya pagi-pagi. Yang Saya ingat, setiap hari pertama masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi biasanya selalu mencukur rambutnya hingga semi gundul. Saya menuju tempat itu dan masuk ke dalamnya.

Sesampainya di dalam, Saya disambut oleh pencukur rambut itu dengan ramah. Saya meminta pencukur rambut itu mencukur rambut Saya dengan gaya rambut semi gundul.

Setelah pencukur rambut itu selesai mencukur rambut Saya, Saya membuka tas dan merogohnya untuk mengambil dompet. Saya mengeluarkan sejumlah uang dan memasukkan dompet tersebut kembali ke dalam tas.

"Apakah Anda tahu alamat sekolah skenda?", Saya bertanya kepada tukang cukur tersebut sembari membayar ongkos mencukur rambut.

"Skenda? Terus saja jalan, ada jalan besar. Ikuti saja sampai di sebuah komplek pendidikan. Sesampainya disana akan ada banyak sekolah-sekolah. Disitu cari sekolah Skenda", tukang cukur menjelaskan dengan santainya.

Saya berterima kasih kepada tukang cukur tersebut dan keluar dari toko. Sebelum menuju sekolah, Saya memasang penutup mata terlebih dahulu. Mata yang ingin Saya sembunyikan, tidak tahu alasan mengapa Saya ingin menutupnya. Sesuai arahannya, Saya berjalan terus menerus hingga menemui jalan besar yang ramai kendaraan lalu-lalang.

Menyusuri jalan besar nyatanya juga melelahkan sebelum mencapai komplek yang dimaksud oleh tukang cukur tersebut. Ditambah.... Setelah sampai komplek tersebut harus berjalan mencari skenda terlebih dahulu. Di skenda, ada banyak orang yang sedang berkumpul dan tidak lama kemudian lonceng berbunyi dengan keras.

Saat Saya berjalan, disamping ada seseorang yang familiar untuk Saya. Laki-laki berambut semi gundul dengan kacamata bulatnya. Zaki.

"Zaki. Selamat pagi", Saya menyapa Zaki sembari berjalan.

"Eh? Kau tau Aku? Padahal kita nggak pernah ketemu sebelumnya", Zaki terlihat bingung.

Sebentar. Belum pernah ketemu sebelumnya? Tapi mengapa Saya merasa familiar dan sudah bertemu dan berteman dalam jangka waktu lama? Dan.... Sebenarnya di mana Saya sekarang. Skenda kan?

Saya melihat sekeliling dan seperti tidak ada yang aneh. Mengapa ada kejanggalan seperti ini? Apa semacam deja vu?

Saya berusaha untuk mengabaikan rasa penasaran Saya dan kembali berjalan menyusul Zaki. Sepertinya banyak orang yang berkumpul di depan ruangan besar. Dan dari fungsinya sepertinya sebuah aula sekolah. Saya mengikuti masa orientasi sekolah hingga sore hari. Memperkenalkan fasilitas-fasilitas apa saja dan kegiatan-kegiatan yang berjalan di Skenda. Setelah masa orientasi sekolah telah usai, Saya berniat pulang kerumah.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, banyak siswa-siswa yang juga berlalu lalang. Tidak luput juga kendaraan-kendaraan yang berseliweran menyusuri jalanan. Saya melihat perempuan yang kemarin di seberang jalan, dari ekspresinya dia menahan tawa.

Entah mengapa Saya merasa kesal. Saya menoleh ke kiri dan ke kanan sembari menyeberangi jalanan dan menatap perempuan itu dengan fokus.

"Kenapa?"

"Tidak... Bwahahahahaha...", perempuan itu tertawa lepas melihat Saya sekarang.

"Ugh... Saya mengerti mengapa Anda tertawa, tapi tolong jangan lakukan itu. Mengapa Saya harus memotongnya... Karena peraturan sekolah Saya yang mengharuskan tahun pertama dan hari pertama sekolah harus memotong rambut semi gundul", Saya merasa kesal dengan perempuan yang berada dihadapan Saya.

"Ohiya? Kalau penutup mata?", Perempuan itu menanyakan perihal yang sedikit tidak mengenakkan buat Saya.

"Saya ingin menutupinya", Saya membalasnya dengan singkat.

"Mengapa?", Perempuan itu tetap menanyakannya.

"Mengapa? Hanya tidak ingin. Itu termasuk privasi Saya, untuk sekarang", Saya meghela nafas untuk menahan emosi yang ingin Saya keluarkan.

"Eh... Lumayan sih, kukira kau tipe orang cuek", Perempuan itu tiba-tiba mengagetkan Saya dengan kata-katanya yang diluar dugaan.

"Saya tahu jika Anda yang tertawa, maka Saya mendekatinya", tapi Saya masih merasa kesal dengan tawanya.

"Oh, kita berbicara sambil berjalan ke taman itu aja", Perempuan itu mengajak Saya menuju taman yang sedikit jauh dari sini.

"Baiklah", Saya mengiyakannya dan mengikuti perempuan itu.

Kami berjalan dengan santai mengarah ke taman yang jaraknya satu kilometer dari tempat yang tadi.

"Nama Anda siapa? Saya lupa untuk menanyakan itu pada hari pertama bertemu", spontan langsung menoleh ke perempuan yang berada disamping Saya.

"Aku? Hanako", perempuan yang bernama Hanako itu juga menoleh ke arah Saya dan kembali melihat jalanan yang ada didepan.

"Bolehkah Saya panggil Anda dengan sebutan Hana-chi?", Hanako mengingatkan pada bunga. Secara umum.

"Kenapa Hana-chi? Itu... Menurutku seperti sudah merasa dekat", Hana-chi sepertinya merasa aneh dengan permintaan Saya.

"Saya menyukainya. Saya teringat dengan suatu bunga. Apakah boleh?", lagipula menyebut namanya dengan Hana-chi terasa lebih spesial dan akrab untuk seorang teman.

"Boleh", Hana-chi mengiyakannya.

"Hana-chi, silakan lanjutkan"

"Ok... Kau bersekolah dimana? Sepertinya sekolah umum?", Hana-chi melihat seragam Saya dengan seksama.

"Skenda...", Saya menjawabnya dengan spontan.

"Skenda? Hum... Di Bandarmasih kan, salah satu sekolah vokasi beken yang bisa menerima murid dari luar daerah bahkan dari luar negeri itu?? Terkenal banyak cowoknya karena jurusan yang ada biasanya berhubungan dengan banyak pemikiran dan kemanusiaan. Jurusan apa yang kau ambil?", Hana-chi terlihat senang dan melihat sekeliling kami.

"TKJ, apa perlu kuberitahu?"

"Silakan...", Hana-chi tetap terlihat senang dan bersemangat.

"TKJ, Teknik Komputer Jaringan. Jurusan sekolah vokasi yang mempunyai konsentrasi dibidang teknologi, komputer, dan jaringan"

"... Itu aja?", Hana-chi melongo melihat ke arah Saya.

"Maksud Anda?", Saya merasa bingung dengan tanggapan Hana-chi yang terlihat sembari ternganga dengan jawaban dari Saya.

"Kukira karena itu yang menurutmu menarik jadi kau menjelaskannya secara berlebihan", Hana-chi tertawa.

"Saya menjelaskan secara umumnya saja", Saya merasa ada tekanan di sekitar wajah Saya untuk sekarang.

"Tenang kok, Aku ingin masuk ke sekolah vokasi yang mempunyai jurusan RPL juga. Jadi RPL sama TKJ seperti satu sodara?"

"RPL... Rekayasa Perangkat Lunak. Sepertinya. Tetapi RPL lebih menekankan kepada pemrogragramannya", Saya menjelaskannya dengan perlahan.

"Wogh! Kau tahu itu juga?", Hana-chi tiba-tiba mengagetkan Saya dengan semangatnya.

"Saya tahu informasi RPL karena pertimbangan untuk masuk ke sekolah lanjutan"

"Mengapa kau tidak memilih sekolah dengan jurusan RPL?", Hana-chi setengah berbisik ketika bertanya kepada Saya.

"Karena... Yah... Tidak sesuai minat?", mungkin.

"Eh? Tidak sesuai minat?", Hana-chi sedikit lesu dengan jawaban yang Saya berikan.

"Bukan, maksud Saya... Tetapi... Hanya ingin mencari yang lebih umum", Saya berusaha untuk menjelaskannya agar Hana-chi mengerti dengan apa yang dimaksud.

"Oh... Seperti di TKJ ada pemrograman dan membangun sebuah jaringan internet?"

"Bagian membuat sebuah jaringan internet bukan yang Saya incar, tetapi bagaimana sebuah jaringan itu... Mereka berkomunikasi dan saling terhubung. Mungkin seperti koneksi antar makhluk hidup?"

"Analoginya jaringan seperti itu sih... Tapi kenapa makhluk hidup?", Hana-chi malah kebingungan dengan penjelasannya.

"Saya menyukainya. Mungkin itu kekurangan terbesar Saya", merasa rendah diri.

"Tolong ceritakan...", Hana-chi meminta Saya untuk menceritakan apa yang Saya maksud.

"Apakah tidak apa-apa?", Saya merasa ragu dengan permintaan Hana-chi.

"Silakan...", Hana-chi menjawabnya dengan tenang.

"Saya... Mungkin hanya Anda yang secara gamblang ingin berteman dengan Saya. Yang Saya ingat... Semua orang menjauhi Saya, kecuali Zaki dan seseorang... Tapi entah mengapa Saya sulit, sulit untuk mengingatnya. Dan rasanya sakit jika Saya berusaha mengingat orang itu", tiba-tiba Saya merasa sedih.

"Apa dia pernah mengkhianati mu?"

"Entahlah...", Saya menutup mata dan tidak mengerti mengapa Saya sedih. Bersedih untuk apa? Bahkan Saya tidak tahu bersedih karena sesuatu atau seseorang.

"Tapi... Kau kenal Zaki?", Hana-chi menanyakannya seperti mengenal Zaki yang Saya ketahui juga.

"Zaki... Apakah Saya harus memberitahunya?", Saya membuka mata.

"Asalkan kau jujur, Aku mendengarkanmu terus! Bahkan hal konyol sekalipun!"

"Mencurigakan...", Saya menoleh dan menatap Hana-chi dengan serius. Mengapa Hana-chi... Terlihat seperti orang yang tidak bisa dipercaya. Secara umum. Seperti ingin mendapat semua informasi dari Saya lalu menggunakanya dengan niat yang melenceng.

"Mengapa? Kan kita teman?", Hana-chi menoleh kepada Saya dengan wajah yang tenang.

"Hanya terdengar mencurigakan... Apa imbalanmu?", Saya merasa ragu dengan teman yang berada disamping Saya sekarang. Apa dia berusaha mengambil keuntungan atau berusaha mengintimidasi Saya?

"Imbalan? Huft... Apa kau tidak pernah berteman sebelumnya?", Hana-chi terlihat sulit jika dilihat dari ekspresinya.

"Tidak", Saya menjawabnya dengan singkat.

"Singkat, padat, dan jelas. Ok. Aku tidak mengharapkan imbalan"

Sampai di taman. Taman yang indah menurut Saya. Di depan ada danau yang bersih. Saya dan Hana-chi duduk di depannya. Suasana menjadi hening. Saya memikirkan, apa maksud dari Hana-chi yang tiba-tiba ingin berteman dengan Saya ataupun menceritakan suatu hal yang seharusnya Saya tutup rapat-rapat. Hana-chi sedang berbohong, atau sedang jujur.

Jika jujur maka akan terasa melegakan, jika itu sebuah kebohongan atau kedok maka terasa menyakitkan. Orang-orang yang pernah Saya temui kebanyakan orang yang tidak bisa dipercaya. Entah itu urusan bisnis maupun urusan akademik.

"Saya ingin Anda jujur", Hana-chi langsung menoleh ke arah Saya.

"Aku jujur!", Hana-chi terlihat semangat.

"Bukan, maksud Saya... Jika Saya jujur maka Anda harus jujur kepada Saya juga", entah mengapa Saya merasa kesal dengan semangatnya barusan. Seperti anak yang berusia masih lima tahun.

"Wow, bukannya justru kau yang ingin imbalan atas kejujuranmu?", Hana-chi memasang ekspresi yang aneh.

"Anggap saja begitu", bagaimanapun Hana-chi juga harus jujur kepada Saya.

"Ok. Aku berusaha jujur, apapun itu?", Hana-chi tetap berekspresi aneh dan memonyongkan mulutnya.

"Apapun itu", Hana-chi menyebalkan.

"Termasuk perasaanku?"

"Termasuk", Saya menjawabnya dengan singkat.

"Kau jelek, aneh, dan menyebalkan!", Saya langsung tertohok dengan pengakuannya barusan.

"Hei.....", Saya meletakkan tangan kanan di dada.

"Aku jujur kan?", Hana-chi tersenyum seolah tidak ada kebohongan sedikitpun.

"Tapi itu.... menyakitkan", Saya merasa sakit mendengarnya.

"Aku jujur. Kau itu jelek. Kau seperti orang sebelah matanya sakit yang tersesat.", Hana-chi memonyongkan mulutnya lagi.

"... Saya tidak bermaksud demikian", Saya bingung. Apakah itu hal yang aneh atau hal biasa dalam masyarakat.

"Kau itu aneh! Kenapa pakai penutup mata? Kan sudah pakai kacamata?"

"Itu privasi Saya"

"Haahhh... Dan juga nyebelin! Kenapa kau tidak jujur kepadaku?", Hana-chi mengepalkan kedua tangannya dan menoleh ke arah Saya.

"Huh? Bagian mananya?", Saya merasa jika sudah merasa jujur kepada Hana-chi.

"Bagian 'privasi' nya", Hana-chi terdengar tegas.

"Jadi.... Anda ingin tahu itu?", Hana-chi tipe orang yang pemaksa.

"Yap!", Hana-chi terlihat senang.

"Baiklah... Menurut Anda... Bagaimana jika Anda tahu kalau Saya itu buta?", mungkin setelah ini Hana-chi akan mundur sejauh-jauhnya dari Saya karena Saya cacat.

"Mata mu tak bisa melihat? Tenang saja, Aku akan menuntunmu!", Hana-chi mengatakannya dengan semangat yang besar.

"Anda tidak ingin memanfaatkan kelemahan Saya?", kenapa Hana-chi tidak terganggu. Biasanya orang lain akan menjauhi Saya.

"Misalnya membully? Sangat tidak-tidak! Ayah dan Ibu ku tidak pernah mengajariku yang begitu!", Hana-chi mengatakan itu dengan jujur menurut Saya.

"Oh.... Menarik", mungkin Hana-chi berbeda dari orang lain. Aneh, seketika kecurigaan Saya dari awal langsung sirna karena keanehannya.

"Terus kenapa?", Hana-chi menatap Saya dengan penuh keheranan.

"Yah.... Aneh, Anda juga orang yang aneh", Saya menutup mata dan merasa orang yang ada disamping Saya juga aneh. Seperti seseorang yang bukan berasal dari masyarakat biasa.

"Aku aneh?", Hana-chi terlihat kaget sekaligus senang.

"Anda mencari Saya pada saat pertama kali seperti Anda sudah mengenal Saya", Saya membuka mata dan menatap Hana-chi.

"Um.... Aku tak tau itu sih... Hanya ingin membalas budi, dan berteman denganmu", Hana-chi menggaruk kepalanya.

"Balas budi?", Saya tidak paham apa yang dimaksud oleh Hana-chi.

"Yah.... Mungkin kau tidak ingat, tapi kau pernah menolongku", lalu Hana-chi menggaruk dagunya.

"Menolong apa?", dalam hal apa. Saya merasa baru melihat Anda dan merasa tidak pernah menolong Anda.

"Menolongku dari tabrakan, tapi....."

"Menolong, A-", seketika ada gambaran yang terbesit dipikiran Saya. Saya melihat sebuah truk besar dan seorang perempuan berambut coklat panjang yang berusaha Saya dorong dari trotoar yang sedang dipijaknya.

Rasa sakit yang itu Saya rasakan sekarang. Saya baru mengingatnya, apa yang dimaksud dengan 'menolong' itu 'menolong dari tabrakan'. Deja Vu atau benar-benar nyata?

"...Si-", Saya berusaha mengatakan sesuatu.

"Kenapa??", Saat pandangan mulai kembali ke awal Saya melihat Hana-chi dengan wajah yang tidak mengenakkan.

"Anda.... Siapa?", Hana-chi kenapa Anda seperti itu.

"Eh, Aku?", Hana-chi berubah menjadi kebingungan dengan pertanyaan Saya.

"Anda.... Terlihat familiar", perempuan itu dengan Hana-chi sekilas terlihat mirip meskipun yang Saya lihat sekarang Hana-chi berambut bob pendek dengan sebagian rambut dikepang.

"Eh?", Hana-chi kembali dengan wajah tidak mengenakkannya.

"Saya baru mengingatnya. Saya ingat Anda itu siapa. Maaf, Anda yang hampir tertabrak truk kan? Anda.... Perempuan yang Saya dorong waktu itu kan?", Saya mengatakannya dengan pelan.

"Kau mengingatnya? Meskipun Aku terlihat berbeda?", Hana-chi terlihat senang sekaligus terlihat sedih.

"Itu Anda kan....", Saya merasa yakin dengan diri sendiri dengan mendengar pernyataannya barusan.

"Iya.... Itu Aku", Hana-chi tersenyum tapi Saya tidak merasakan ada kebahagiaan disitu. Kenapa?

"Kenapa Anda berekspresi seperti itu? Tidak mengapa", Saya menyingkirkan tangan dari genggaman Hana-chi sedari tadi dan memberi jarak duduk yang sedikit lebih jauh. Saya merasa tidak nyaman dengan ekspresi Hana-chi.

"Maaf.....", Hana-chi menundukkan kepalanya. Hana-chi terdiam.

"Maaf? Mengapa Anda minta maaf kepada Saya....", Saya menatap Hana-chi. Saya ingin Hana-chi bersikap seperti semula.

"Maaf, jika itu mengganggumu", Hana-chi terlihat aneh.

"Saya tidak merasa terganggu!", Saya tetap menatap Hana-chi.

"A-Anu! Ayo makan!", Hana-chi terlihat aneh. Sebenarnya maunya apa?

Saya membuang pandangan ke arah pohon yang besar di sebeah Saya dan memikirkan apa maksudnya. Kenapa jadi aneh? Saya tidak bisa menangkap pola pikirnya saat ini. Saya merasa percaya dengan Hana-chi tapi benar-benar.... Saya tidak bisa mengetahui apa maksudnya tadi. Apa hubungannya dengan ingatan Saya barusan dengan ingin makan?

"Ini sudah hampir jam 4 sore, mau makan apa? Nasi goreng, nasi uduk, atau lalapan?", Hana-chi tetap terlihat aneh.

"Tahu tek....", Saya ragu apakah Hana-chi juga makan tahu tek atau tidak. Dilihat dari wajahnya bukan orang yang berasal dari daerah sini.

"Eh? Aku mendengar kau ingin tahu tek? Tapi Aku tak tau dimana abangnya jualan...", Hana-chi terlihat bersungut.

"Mau ikut? Saya tahu dimana orang yang menjualnya menjajakan makanan itu", Saya beranjak dari duduk dan mengulurkan tangan Saya.

"Ok! Mungkin tahu tek rasanya enak", Hana-chi menyambut uluran tangan Saya dengan muka yang aneh. Apa yang sedang dipikirkannya?

Kami jalan meninggalkan taman yang mulai terlihat sepi. Sepanjang jalan Hana-chi hanya diam. Apa yang dipikirkannya, apa yang sedang dia rasakan. Saya belum memahaminya. Apa pepatah "Wanita adalah misteri yang tidak terpecahkan" itu juga berlaku pada Hana-chi? Saya melihat kedai di persimpangan tiga dengan warung-warung lainnya disebelah-sebelahnya. Kedai itu, Saya merasa sering ke sana untuk sekadar makan ataupun merenung. Apapun.

Baru kali ini Saya bersama seseorang ke kedai itu, biasanya Saya hanya sendiri. Tanpa ada teman untuk makan bersama jika di luar rumah.

Setelah masuk, kami langsung duduk di kedainya. Kami duduk persis di hadapan tempat menggoreng tahu dan tempenya. Hanya meja kayu cat berwarna merah tua yang memisahkannya.

"Pak, tahu teknya 1 porsi!", Hana-chi spontan berteriak disebelah Saya.

"Saya juga memesan tahu tek seporsi!"

"OK dek! Tahu tek 2 porsi!", paman langsung menyiapkan garpu besi untuk makan dan sebuah pisau untuk memotong bahan-bahan tahu tek.

Paman terlihat lebih muda, Saya merasa paman seharusnya lebih tua untuk sekarang. Tapi kenapa Saya bisa berpikiran demikian? Atau ada kejanggalan yang terjadi. Insting Saya mengatakan ada kejanggalan disekitar sini. Saya belum memahami, bagian mana nya yang janggal.

Saya melihat Hana-chi yang terus melihat paman membuat tahu tek dengan antusias.

Paman meletakkan dua porsi tahu tek di hadapan kami. Tahu tek yang sedang hangat-hangatnya. Saya menyentuh bahu Hana-chi dengan pelan.

"Anda suka pedas?", Saya mengambil mangkok yang berisi sambal dan menyendoknya.

"Nggak, Aku nggak tahan pedas", Hana-chi tersenyum.

Kami makan tahu tek dengan tenang. Tidak banyak pengunjung makan di kedai ini. Yang datang hanya memesan, lalu makanan itu dibawa pulang. Berselang waktu kemudian akhirnya seporsi tahu tek sudah dimakan. Saya mengambil tas ransel, dan beranjak dari tempat duduk.

"Saya pamit pulang terlebih dahulu, selamat sore", Saya membungkukkan badan sebagai bentuk penghormatan, setelah itu meninggalkan kedai dengan cepat.



>> Back to  Bit_Memoir Page

Komentar