[Bahaduri Bikir] Bagian 5 : Canggung

Sembari berjalan dan melihat cowok yang terlihat familiar berjalan di pinggir trotoar jalan. Dia mengenakan baju berkerah lengan panjang putih, celana dan sepatu berwarna hitam legam. Oh, dia memakai penutup mata dan kacamata.... Tunggu, dia memotong rambutnya?

Dia terlihat sedikit konyol, mungkin.

"Pft!", padahal ingin tertawa tapi kutahan.

Seketika cowok itu menoleh, berjalan dengan cepat dan mendekatiku.

"Kenapa?", kalo dilihat dari matanya sepertinya dia kesal.

"Tidak... Bwahahahahaha...", Aku tertawa lepas melihat gaya rambut beserta ekspresinya sekarang.

"Ugh... Saya mengerti mengapa Anda tertawa, tapi tolong jangan lakukan itu. Mengapa Saya harus memotongnya.... Karena peraturan sekolah Saya yang mengharuskan tahun pertama dan hari pertama sekolah harus memotong rambut semi gundul", Ananda sepertinya sedang bersungut.

"Ohiya? Kalau penutup mata?", Aku penasaran.

"Saya ingin menutupinya", dengan singkat.

"Mengapa?", kubalas kesingkatannya itu.

"Mengapa? Hanya tidak ingin. Itu termasuk privasi Saya, untuk sekarang", Ananda menutup matanya dan menghela nafas.

"Eh... Lumayan sih, kukira kau tipe orang cuek"

"Saya tahu jika Anda yang tertawa, maka Saya mendekatinya", dengan muka kesal.

"Oh, kita berbicara sambil berjalan ke taman itu aja"

"Baiklah", Ananda membuka matanya dan ikut berjalan kaki.

Kami berjalan dengan santai mengarah ke taman yang jaraknya satu kilometer dari tempat yang tadi.

"Nama Anda siapa? Saya lupa untuk menanyakan itu pada hari pertama bertemu", Ananda menoleh ke arahku

"Aku? Hanako", Aku membalas pertanyaannya dan menoleh juga ke arah Ananda, setelah itu kembali melihat ke arah depan.

"Bolehkah Saya panggil Anda dengan sebutan Hana-chi?"

"Kenapa Hana-chi? Itu... Menurutku seperti sudah merasa dekat", Aku merasa aneh jika ada orang belum dekat atau orang asing yang memanggil nama pendekku.

"Saya menyukainya. Saya teringat dengan suatu bunga. Apakah boleh?"

"Boleh", Aku bingung dengan barusan. Sebenarnya Ananda itu ingin menjaga jarak atau memperdekat jarak antar hubungan nya denganku.

"Hana-chi, silakan lanjutkan", Ananda terdengar seperti siap mendengarkan apapun yang kukatakan selanjutnya.

"Ok.... Kau bersekolah dimana? Sepertinya sekolah umum?", Aku melihat seragamnya yang seperti siswa sekolah umum tinggi, tapi itu biasanya berwarna putih abu-abu.

"Skenda..."

"Skenda? Hum... Di Bandarmasih kan, salah satu sekolah vokasi beken yang bisa menerima murid dari luar daerah bahkan dari luar negeri itu?? Terkenal banyak cowoknya karena jurusan yang ada biasanya berhubungan dengan banyak pemikiran dan kemanusiaan. Jurusan apa yang kau ambil?", Aku bertanya sembari melihat sekeliling.

"TKJ, apa perlu kuberitahu?"

"Silakan...", lagipula Aku ingin mendengarnya juga.

"TKJ, Teknik Komputer Jaringan. Jurusan sekolah vokasi yang mempunyai konsentrasi dibidang teknologi, komputer, dan jaringan internet", Ananda menjelaskannya dengan slogan singkat padat dan jelas serta mudah dipahami.

".... Itu aja?", Aku tercengang.

"Maksud Anda?", Ananda bingung.

"Kukira karena itu yang menurutmu menarik jadi kau menjelaskannya secara berlebihan", Aku terkekeh.

"Saya menjelaskan secara umumnya saja", Ananda terlihat tersipu malu meskipun menutupinya dengan muka datarnya.

"Tenang kok, Aku ingin masuk ke sekolah vokasi yang mempunyai jurusan RPL juga. Jadi RPL sama TKJ seperti satu sodara?"

"RPL.... Rekayasa Perangkat Lunak. Sepertinya. Tetapi RPL lebih menekankan kepada pemrogragramannya"

"Wogh! Kau tahu itu juga?", antusiasku.

"Saya tahu informasi RPL karena pertimbangan untuk masuk ke sekolah lanjutan"

"Mengapa kau tidak memilih sekolah dengan jurusan RPL?", Aku menanyakannya seperti menanyakan hal yang tabu dengan setengah berbisik.

"Karena..... Yah.... Tidak sesuai minat?", Ananda memasang muka datar sedatar papan.

"Eh? Tidak sesuai minat?", Aku merasa RPL itu mirip seperti TKJ.

"Bukan maksud Saya... Tetapi... Hanya ingin mencari yang lebih umum"

"Oh... Seperti di TKJ ada pemrograman dan membangun sebuah jaringan internet?"

"Bagian membuat sebuah jaringan internet bukan yang Saya incar, tetapi bagaimana sebuah jaringan itu.... Mereka berkomunikasi dan saling terhubung. Mungkin seperti koneksi antar makhluk hidup?"

"Analoginya jaringan seperti itu sih.... Tapi kenapa makhluk hidup?", Aku menggaruk kepalaku karena analogi yang dipakainya menurutku nggak berkolerasi.

"Saya menyukainya. Mungkin itu kekurangan terbesar Saya"

"Tolong ceritakan..."

"Apakah tidak apa-apa?", Ananda terlihat ragu.

"Silakan....", Aku berusaha meyakinkannya dengan sekata yang singkat padat dan jelas.

"Saya.... Mungkin hanya Anda yang secara gamblang ingin berteman dengan Saya. Yang Saya ingat.... Semua orang menjauhi Saya, kecuali Zaki dan seseorang.... Tapi entah mengapa Saya sulit, sulit untuk mengingatnya. Dan rasanya sakit jika Saya berusaha mengingat orang itu", Ananda terlihat pasrah dan sulit.

"Apa dia pernah mengkhianati mu?", Aku penasaran.

"Entahlah....", dia menutup matanya dengan muka sedih.

"Tapi... Kau kenal Zaki?", nama itu terdengar familiar tapi ku pikir nama itu nama yang umum dipakai.

"Zaki... Apakah Saya harus memberitahunya?", Ananda membuka matanya kembali.

"Asalkan kau jujur, Aku mendengarkanmu terus! Bahkan hal konyol sekalipun!"

"Mencurigakan...", tiba-tiba Ananda menoleh kepadaku.

"Mengapa? Kan kita teman?", Aku membalas tolehannya kepadaku.

"Hanya terdengar mencurigakan... Apa imbalanmu?", nada suara yang dikeluarkannya saat berbicara terdengar dingin.

"Imbalan? Huft.... Apa kau tidak pernah berteman sebelumnya?"

"Tidak"

"Singkat, padat, dan jelas. Ok. Aku tidak mengharapkan imbalan"

Tak terasa kami sampai ditaman, tempat duduknya banyak yang penuh. Akhirnya kami duduk di depan danau yang jernih bagaikan kaca yang tembus pandang dan di belakang kami ada pohon besar yang rimbun. Cocok untuk berteduh. Kami terdiam, seolah tidak ada lagi yang dibicarakan. Padahal ada banyak yang ingin kutanyakan. Aku merasa tidak nyaman dengan situasi ini.

"Saya ingin Anda jujur", Ananda tiba-tiba memecah keheningan.

"Aku jujur!", Aku berusaha semangat.

"Bukan, maksud Saya... Jika Saya jujur maka Anda harus jujur kepada Saya juga", Ananda menampilkan muka kecewa.

"Wow, bukannya justru kau yang ingin imbalan atas kejujuranmu?", Aku merasa aneh sembari memasang muka aneh juga.

"Anggap saja begitu", Ananda mengarahkan pandangannya ke danau di hadapan kami dengan tatapan pasrah.

"Ok. Aku berusaha jujur, apapun itu?"

"Apapun itu", Ananda menghela nafas.

"Termasuk perasaanku?"

"Termasuk"

"Kau jelek, aneh, dan menyebalkan!", Aku tanpa merasa sedikitpun bersalah mengatakannya.

"Hei.....", Ananda langsung meletakkan tangan kanan nya persis di letak jantung berdetak di dada dan meringis kesakitan.

"Aku jujur kan?", Aku tersenyum.

"Tapi itu.... menyakitkan", Ananda tetap merasa kesakitan.

"Aku jujur. Kau itu jelek. Kau seperti orang sebelah matanya sakit yang tersesat."

"..... Saya tidak bermaksud demikian", Ananda kebingungan.

"Kau itu aneh! Kenapa pakai penutup mata? Kan sudah pakai kacamata?"

"Itu privasi Saya", jawabnya dengan slogan singkat padat dan jelas.

"Haahhh... Dan juga nyebelin! Kenapa kau tidak jujur kepadaku?", Aku langsung mengepalkan kedua tanganku sejajar dengan dadaku dan menoleh ke arah Ananda.

"Huh? Bagian mananya?", Ananda sangat kebingungan.

"Bagian 'privasi' nya", tegasku menjawabnya

"Jadi.... Anda ingin tahu itu?", Ananda merasa ragu-ragu dalam sekejap.

"Yap!", Aku mengiya kan pertanyaan barusan.

"Baiklah... Menurut Anda... Bagaimana jika Anda tahu kalau Saya itu buta?"

"Mata mu tak bisa melihat? Tenang saja, Aku akan menuntunmu!"

"Anda tidak ingin memanfaatkan kelemahan Saya?", Ananda terlihat makin ragu dengan jawabanku.

"Misalnya membully? Sangat tidak-tidak! Ayah dan Ibu ku tidak pernah mengajariku yang begitu!", mungkin. Seingatanku.

"Oh.... Menarik", Ananda terlihat lega.

"Terus kenapa?"

"Yah.... Aneh, Anda juga orang yang aneh", Ananda menutup matanya.

"Aku aneh?", Aku tercengang mendengar itu.

"Anda mencari Saya pada saat pertama kali seperti Anda sudah mengenal Saya", Ananda sembari membuka matanya dan melihat ke arahku.

"Um.... Aku tak tau itu sih... Hanya ingin membalas budi, dan berteman denganmu"

"Balas budi?", Ananda kembali terlihat kebingungan.

"Yah.... Mungkin kau tidak ingat, tapi kau pernah menolongku", Aku menggaruk daguku dengan lembut.

"Menolong apa?", mata Ananda terlihat tidak percaya dengan apa yang kukatakan barusan.

"Menolongku dari tabrakan, tapi.....",Aku ragu harus mengatakannya atau tidak.

"Menolong, A-"

Tiba-tiba pandangannya menjadi kosong, pas ku pegang tangannya.... Tetap dingin. Eh?

Ku cek lengan kirinya tapi barnya masih tiga per empat penuh. Ta-ta-tapi dia tidak kembali ke dunia nyata kan?

"Eh? Kenapa?", Aku berusaha tenang sembari menggenggam tangannya.

".......Si-"

"Kenapa??", Aku mulai panik.

"Anda.... Siapa?", Ananda bertanya dengan tatapan aneh.

"Eh, Aku?", Aku kebingungan dengan apa yang terjadi.

"Anda.... Terlihat familiar", Ananda dengan lirih mengatakannya.

"Eh?"

"Saya baru mengingatnya. Saya ingat Anda itu siapa. Maaf, Anda yang hampir tertabrak truk kan? Anda.... Perempuan yang Saya dorong waktu itu kan?"

"Kau mengingatnya? Meskipun Aku terlihat berbeda?", Aku terkejut tetapi bercampur dengan perasaan senang.

"Itu Anda kan....", Ananda terlihat kebingungan, tetapi yakin dengan perkataannya.

"Iya.... Itu Aku", Aku tersenyum meskipun Aku merasa sedih disaat yang bersamaan.

"Kenapa Anda berekspresi seperti itu? Tidak mengapa", Ananda segera menyingkirkan tangannya dari genggamanku dan memberi jarak duduk yang sedikit lebih jauh.

"Maaf.....", Aku menundukkan kepala.

Apa salahku?

Aku merenungi apa-apa saja yang kuperbuat sehingga Ananada seperti tadi seperti itu.

"Maaf? Mengapa Anda minta maaf kepada Saya....", dia menghela nafas dan kembali menatapku.

"Maaf, jika itu mengganggumu", Aku memasang muka memelas seperti anak kucing yang meminta makanan kepada majikannya.

"Saya tidak merasa terganggu!", Ananda menapku dengang yakin.

Suasananya menjadi canggung.... Aku merasa nggak enak dengan yang tadi. Apa dia sudah mengingatnya?

Aku merasa senang, tetapi terselip juga rasa sedih dan merasa bersalah. Mungkin? Karena itu pengalamannya di dunia nyata dulu. Aku ingin segera lari dari situasi ini, tapi sepertinya tak bisa. Apa pakai cara mengajak makan untuk mencairkan suasana? Mungkin itu efektif!

"A-Anu! Ayo makan!", Aku berusaha tidak gugup dan memaksa untuk menatap matanya langsung.

Ananda langsung membuang pandangannya ke arah lain dan mengeluarkan sedikit keringat di wajahnya seperti ekspresi orang yang kebingungan disertai dengan gugup, meskipun dia menutupinya dengan muka datarnya.

"Ini sudah hampir jam 4 sore, mau makan apa? Nasi goreng, nasi uduk, atau lalapan?", kataku.

"Tahu tek....", Ananda mengatakannya dengan suara pelan hampir seperti bisikan.

"Eh? Aku mendengar kau ingin tahu tek? Tapi Aku tak tau dimana abangnya jualan...", Aku bersungut.

"Mau ikut? Saya tahu dimana orang yang menjajakan makanan itu", Ananda beranjak dan mengulurkan tangannya kepadaku.

"Ok! Mungkin tahu tek rasanya enak", Aku menyambut uluran tangannya. Tangannya tetap terasa sedingin es. Entahlah.

Kami berjalan lagi, meninggalkan taman. Sepanjang jalan hanya ada suara mobil dan motor yang sesekali lewat. Jalannya lumayan jauh, kalo dari rumah.... Kami sedari taman tadi tidak ada berbicara sepatah kata apapun. Oh! Itu sepertinya abang yang berjualan tahu tek. Kedainya mempunyai gambar seporsi tahu tek di depannya, kedai itu terletak di persimpangan tiga, dan disekitarnya ada warung-warung yang menjual makanan dan minuman. Tapi harganya berapa ya untuk seporsi tahu tek. Mahal atau murah?

Nggak pernah makan itu sih.

Kami langsung duduk di kedainya. Kami duduk persis di hadapan tempat menggoreng tahu dan tempenya. Hanya meja kayu cat berwarna merah tua yang memisahkannya.

"Pak, tahu teknya 1 porsi!", Aku langsung memesannya tanpa pikir panjang setelah duduk.

"Saya juga memesan tahu tek seporsi!", Ananda juga ikut memesan.

"OK dek! Tahu tek 2 porsi!", abang itu langsung menyiapkan garpu besi untuk makan dan sebuah pisau untuk memotong bahan-bahan tahu tek.

Abang yang menjual tahu tek cekatan dalam meletakkan tahu-tahu dan tempe-tempe ke atas piring, selanjutnya memotong tahu dan tempe gorengnya. Dan juga menuangkan saus kacang dan menaburkan bawang gorengnya setelah tahu dan tempenya terpotong. Abangnya langsung meletakkan tahu tek seporsi itu dihadapan kami masing-masing.

Ananda menyentuh bahuku. Tangan dinginnya masih terasa meskipun Aku memakai baju seragam.

"Anda suka pedas?", tanya Ananda sembari mengambil mangkok yang berisi sambal dan menyendoknya.

"Nggak, Aku nggak tahan pedas", Aku menolaknya dengan sopan.

Kami makan tahu tek dengan tenang. Tidak banyak pengunjung makan di kedai ini.

Yang datang hanya memesan, lalu makanan itu dibawa pulang. Mungkin karena belum malam. Biasanya kedai tahu tek ramai pas malam, itu yang pernah kudengar.

Sudah selesai makan.... Aku mengambil smartphone yang kuletakkan didalam tasku. Ketika kunyalakan , waktu yang ditampilkan dilayarnya menunjukkan hampir jam lima sore. Lumayan kenyang makan tahu tek, tapi kalau Okaa-san memasak nasi goreng Akupun masih bisa memakannya.

Ananda sedang mengambil tasnya, dan beranjak dari tempat duduk.

"Saya pamit pulang terlebih dahulu, selamat sore", Ananda membungkukkan badannya sebagai bentuk penghormatan, setelah itu dia meninggalkan kedai ini tanpa menunggu jawabanku.

"So... re", Aku berusaha memakluminya, meskipun terasa canggung.

Ananda meninggalkan ku. Haaahhhh..... Yup, bersiap-siap dan jalan kembali pulang ke rumah. Langit yang indah bagaikan lukisan matahari yang terbenam di ufuk barat dan angin senja terasa sejuk. Padahal baru jam lima sore.

Sesampainya dirumah, Aku belum melihat Otou-san dan Okaa-san pulang. Mandi menggunakan air hangat sepertinya enak... Sesudah mandi, Aku bersantai-santai di kasur sembari mengeringkan rambut menggunakan pengering rambut. Rasa hangatnya sehangat panekuk lembut yang dibuat oleh Okaa-san.

Aku mengumpulkan informasi yang ku dapatkan seharian tadi.

Yang pertama, dia anak TKJ. Kalau dipikir-pikir dia hampir sama denganku. Bedanya hanya.... Aku dulu masuk ke jurusan RPL pas saat sekolah tinggi. Yang bisa kupikirkan kemungkinannya, dia pas kuliah mengambil program studi di bidang IT. Bisa sama seperti yang kuambil atau program studi yang lainnya yang masih berkaitan. Dia ternyata setahun lebih tua dariku.

Yang kedua.... Dia mengingat suatu kejadian tadi. Mungkin untuk kemajuannya hari ini lumayan lah. Tapi dia terasa dingin. Dari suhu tubuhnya hingga auranya sekalipun. Aku ingin tau mengapa dia begitu. Apakah dia mempunyai pengalaman buruk dimasa lalu.

Tak terasa rambutku sudah kering, Aku bergegas menjemur handuk di kamar mandi, langsung tidur di tempat tidur berwarna hijau dan banyak bantal-bantal besar diatasnya dan setelah itu mematikan lampu ruangan di meja warna hijau.

"Good Night..."



>> Back to  Bit_Memoir Page

Komentar